Senin, 26 Desember 2011

Konsep Dasar Ekonomi Islam

Konsep Dasar Ekonomi Islam

Islam sebagai agama merupakan konsep yang mengatur kehidupan manusia secara
komprehensif dan universal baik dalam hubungan dengan Sang Pencipta (HabluminAllah)
maupun dalam hubungan sesama manusia (Hablumminannas). Ada tiga pilar pokok dalam
ajaran Islam yaitu :

Aqidah : komponen ajaran Islam yang mengatur tentang keyakinan atas keberadaan dan
kekuasaan Allah sehingga harus menjadi keimanan seorang muslim manakala melakukan
berbagai aktivitas dimuka bumi semata-mata untuk mendapatkan keridlaan Allah sebagai
khalifah yang mendapat amanah dari Allah.

Syariah : komponen ajaran Islam yang mengatur tentang kehidupan seorang muslim baik
dalam bidang ibadah (habluminAllah) maupun dalam bidang muamalah
(hablumminannas) yang merupakan aktualisasi dari akidah yang menjadi keyakinannya.
Sedangkan muamalah sendiri meliputi berbagai bidang kehidupan antara lain yang
menyangkut ekonomi atau harta dan perniagaan disebut muamalah maliyah.
Akhlaq : landasan perilaku dan kepribadian yang akan mencirikan dirinya sebagai seorang
muslim yang taat berdasarkan syariah dan aqidah yang menjadi pedoman hidupnya
sehingga disebut memiliki akhlaqul karimah sebagaimana hadis nabi yang menyatakan
"Tdaklah sekiranya Aku diutus kecuali untuk menjadikan akhlaqul karimah"
Cukup banyak tuntunan Islam yang mengatur tentang kehidupan ekonomi umat yang
antara lain secara garis besar adalah sebagai berikut :

Islam menempatkan fungsi uang semata-mata sebagai alat tukar dan bukan
sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk diperdagangkan apalagi mengandung
unsur ketidakpastian atau spekulasi (gharar) sehingga yang ada adalah bukan
harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya waktu tetapi nilai uang untuk
menukar dengan barang.

Riba dalam segala bentuknya dilarang bahkan dalam ayat Alquran tentang
pelarangan riba yang terakhir yaitu surat Al Baqarah ayat 278-279 secara tegas
dinyatakan sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa
riba itu jika kamu orang beriman. Kalau kamu tiada memperbuatnya ketahuilah ada
peperangan dari Allah dan RasulNya terhadapmu dan jika kamu bertobat maka
untukmu pokok-pokok hartamu kamu tidak menganiaya dan tidak pula teraniaya.

Larangan riba juga terdapat dalam ajaran kristen baik perjanjian lama maupun
perjanjian baru yang pada intinya menghendaki pemberian pinjaman pada orang
lain tanpa meminta bunga sebagai imbalan.

Meskipun masih ada sementara pendapat khususnya di Indonesia yang masih
meragukan apakah bunga bank termasuk riba atau bukan, maka sesungguhnya
telah menjadi kesepakatan ulama, ahli fikih dan Islamic banker dikalangan dunia
Islam yang menyatakan bahwa bunga bank adalah riba dan riba diharamkan.

Tidak memperkenankan berbagai bentuk kegiatan yang mengandung unsur
spekulasi dan perjudian termasuk didalamnya aktivitas ekonomi yang diyakini akan
mendatangkan kerugian bagi masyarakat.

Harta harus berputar (diniagakan) sehingga tidak boleh hanya berpusat pada
segelintir orang dan Allah sangat tidak menyukai orang yang menimbun harta
sehingga tidak produktif dan oleh karenanya bagi mereka yang mempunyai harta
yang tidak produktif akan dikenakan zakat yang lebih besar dibanding jika
diproduktifkan. Hal ini juga dilandasi ajaran yang menyatakan bahwa kedudukan
manusia dibumi sebagai khalifah yang menerima amanah dari Allah sebagai pemilik
mutlak segala yang terkandung didalam bumi dan tugas manusia untuk
menjadikannya sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan manusia.

Bekerja dan atau mencari nafkah adalah ibadah dan waJib dlakukan sehingga tidak
seorangpun tanpa bekerja - yang berarti siap menghadapi resiko - dapat
memperoleh keuntungan atau manfaat(bandingkan dengan perolehan bunga bank
dari deposito yang bersifat tetap dan hampir tanpa resiko).

Dalam berbagai bidang kehidupan termasuk dalam kegiatan ekonomi harus
dilakukan secara transparan dan adil atas dasar suka sama suka tanpa paksaan
dari pihak manapun.

Adanya kewajiban untuk melakukan pencatatan atas setiap transaksi khususnya
yang tidak bersifat tunai dan adanya saksi yang bisa dipercaya (simetri dengan
profesi akuntansi dan notaris).

Zakat sebagai instrumen untuk pemenuhan kewajiban penyisihan harta yang
merupakan hak orang lain yang memenuhi syarat untuk menerima, demikian juga
anjuran yang kuat untuk mengeluarkan infaq dan shodaqah sebagai manifestasi
dari pentingnya pemerataan kekayaan dan memerangi kemiskinan.
Dari uraian ringkas diatas memberikan gambaran yang jelas tentang prinsip-prinsip dasar
sistem ekonomi Islam dimana tidak hanya berhenti pada tataran konsep saja tetapi
tersedia cukup banyak contoh-contoh kongkrit yang diajarkan oleh RasulAllah, yang untuk
penyesuaiannya dengan kebutuhan saat sekarang cukup banyak ijtima' yang dilakukan
oleh para ahli fikih disamping pengembangan praktek operasional oleh para ekonom dan
praktisi lembaga keuangan Islam. Sesuai sifatnya yang universal maka tuntunan Islam
tersebut diyakini akan selalu relevan dengan kebutuhan zaman, dalam hal ini sebagai
contoh adalah pengembangan lembaga keuangan Islam seperti perbankan dan asuransi.

DASAR-DASAR EKONOMI ISLAM MASA RASULULLAH


DASAR-DASAR EKONOMI ISLAM MASA RASULULLAH
BAB I
A. Latar Belakang
Pada mulanya masyarakat arab sebelum kedatangan islam adalah masyarakat yang maju sekali dalam hal perekonomian. Hal ini terbukti (bangsa arab jahiliah). Mereka pandai sekali dalam perdagangan dalam negeri ataupun antar negeri sehingga membuat mereka banyak dikenal oleh bangsa-bangsa lain di dalam jazirah arab. Hal tersebut disebabkan perdagangan telah mengakar di dalam tradisi bangsa arab pada masa itu.
Arab atau lebih spesifik kota makkah dalam pengetahuan umumnya telah menjadi tempat atau pusat terjadinya perdagangan yang ramai dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai wilayah seperti mesir, syam, syiria, dan sebagainya. Selain merupakan pusat perdagangan antar wilayah, kota makkah juga menjadi jalur perdagangan dunia yang menghubungkan antara utara, syam, dan selatan, yaman, antara timur, Persia, dan barat, abesinia serta mesir (mufrodi, 1997: 10)
Berdasarkan analisis, dengan diketahuinya bahwa kota makkah menjadi salah satu tempat paling ramai dalam hal perdagangan, layak sudah jika pendapatan yang didapat koa makkah melebihi pendapatan yang diterima negeri-negeri di sekitar kota makkah.
Dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh nabi Muhammad SAW, terbagi menjadi dua periode menurut urutan waktu. Pembagian tersebut yakni, periode makkah dan peride madinah. Periode makkah yaitu ketika nabi Muhammad SAW mulai mengenal kegiatan ekonomi (ketika berdagang ke syam) dan diakhiri dengan masa kenabian hingga hijrah ke madinah. Sedangkan periode madinah yaitu pada waktu nabi Muhammad SAW sampai di madinah dan menjadi memimpin pemrintahan hingga akhirnya meninggal.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang diambil, rumusan masalah yang hendak dipecahkan adalah sebagai berikut:
1. bagaimanakah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh nabi Muhammad SAW ketika di mekkah?
2. bagaimanakah kegiatan ekonomi yang dilakuksn oleh nabi Muhammad SAW ketika di madinah?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Periode Makkah
Pada periode ini, tradisi perdagangan yang merupakan kegiatan ekonomi utama nabi Muhammad SAW terbagi menjadi dua bagian yaitu masa sebelum kerasulan dan setelah kerasulan. Zaman sebelum kerasulan banyak mangacu pada aktivitas perekonomian (berdagang), sedangkan zaman setelah kerasulan aktivitas atau kegiatan ekonomi banyak yang berkurang, hal ini disebabkan pada masa setelah kerasulan nabi mihammad SAW akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Sebelum Kerasulan
Dalam memahami prilaku nabi muhammadSAW sebelum menjadi rasul, alangkah baiknya jika menilik kebelakang, ke sejarah singkat nabi Muhammad SAW. Beliau lahir pada 12 rabiul awal tahun gajah (sekitar 570 M) di kota makkah. Nabi Muhammad SAW adalah putra dari Abdullah bin Abdul Muthalib dari Bani Hasym dan siti Aminah binti wahab dari bani Bani Zairah (yatim, 2000: 16)
Semasa kecilnya, nabi Muhammad SAW banyak sekali mengalami peristiwa-peristiwa yang menyedihkan. Adapun peristiwa-peristiwa tersebut antara lain ditinggal wafat ayahandanya sewaktu beliau masih dalam kandungan; ditinggal wafat ibundanya disebuah desa bernama ABwa (haekal. 1980: 61) ketika dalam perjalanan dari makam ayahnya; kemudian ditinggal kakek tercintanya (Abdul Munthalib) yang memilki keteguhan hati, kewibawaan pandangan tajam, terhormat dikalangan arab semua karena abdul munthalib adalah pemegang kunci ka’bah (haekal. 1980: 62)
Dengan banyaknya cobaan yang diterima nabi Muhammad SAW sewaktu kecil, tidak menyurutkan langkahnya dalam mengarungio kerasnya kehidupan. Setelah nabi Muhammad SAW ditinggal wafat kakeknya pada usia delapan tahun, beliau diasuh oleh pamannya Abu thalib yang nantinya akan menjadi seseorang yang memperkenalkan nabi mauhammad SAW terhadap dunia ekonomi khususnya perdagangan.
Abu thalib adalah seorang warga dari suku quraisy yang tergolong miskin. Abu thalib memilki banyak putra yang harus beliau besarkan. Usaha yang dilakukan oleh abu thalib dalam hidupnya adalah berdagang. Kegiatan berdagang tersebut telah mengakar dalam diri abu thalib seperti halnya masyarakat quraisy lainnya.
Ketikan nabi Muhammad masih kecil, yakni masa-masa awal beliau bersama abu thalib, beliau turut membantu mengembalakan kambingnya, dari pengembalaan itulah nantinya menjadikan inspirasi yang tak terhingga bagi nabi Muhammad SAW.
Setelah nabi Muhammad SAW mwnginjak 12 tahun, beliau ikut dalam rombongan dagang ke negeri syam (Syiria). Kalifah dagang tersebut dipimpin langsung oleh pamanya sendiri, abu thalib (yatim, 2000:17) dalam perjalannya, rombongan tersebut bertemu dengan seorang pendeta bernama bahira, yang mengetahui tanda-tanda kerasulan pada diri nabi Muhammad SAW. Ketika abu thalib diberi tahu oleh pendeta tersebut, kekhawartiran yang timbul adalah jika tanda-tanda tersebut terlihat oleh orang-orang yahudi, maka nabi Muhammad SAW akan di celakakan.
Dari perdagangan ke syam, manfaat yang didapat nabi Muhammad SAW dalam usaha dagangnya banyak sekali. Manfaat yang paling penting adalah dengan ikut sertanya nabi Muhammad SAW dalam berdagang, nabi Muhammad SAW mwnjadi tahu bagaimana caranya berdagang dan bagaimana agar dalam transaksi dagang tidak ada yang merasa dirugukan.
Ketika dewasa, nabi Muhammad SAW memilih berkarir sebagi seorang wirausahawan atau lebih khususnya menjadi pedagang (agustianto, 2007) ketika berdagang, beliau tidak selalu menggunakan modalnya sendiri untuk berdagang dalam skala kecil (Afzalurrahman, 1997: 6) dan lebih sering lagi beliau bermitra dengan shohibul mal atau pemilik modal )anto, 2003;269) tempat-tempat seperti yaman. Bahrain, syiriah atau abysiniah menjadi jutuan nabi Muhammad SAW ketika memakai modalnya sendiri (afzalurrahman 1997: 9)
Pada waktu bermitra, nabi Muhammad SAW lebih diperaya menjadi manjer. Sebab nabi Muhammad SAW sudah dikenal sebagai seorang yang siddiq (jujur) dan amanah (dapat dipercaya). Salah seorang yang paling sering menjadi mitra dagang nabi Muhammad SAW adalah siti Khadijah Binti Khuwalid, janda yang kaya raya yang kelak menjadi istrinya.
Perjalanan dagang yang pertama kali dijalankan nabi Muhammad SAW ketika berakad bagi hasil dengan Siti Khadijah adalah ke negeri syam, dalam perdagangan ini nabi Muhammad SAW memperoleh laba yang besar (yatim, 2000: 17) dari keuletan nabi Muhammad SAW inilah sehingga siti Khadijah tertarik untuk menikahinya.
Setelah menjadi suami Siti Kahdijah, nabi Muhammad SAW tetap menjalankan usaha dagangnya, beliau juga tetap menjadi manajer sekaligus mitra dagang istrinya (Muhammad, 2007: 10) usaha dagang nabi Muhammad SAW dengan istrinya hingga ke luar negeri. Dalam sejarah disebutkan bahwa setelah menikah, Nabi Muhammad SAW dengan istrinya berdagang di tiga tempat yaitu: Yaman, Najd, Najran (Agustianto, 2007). Selain itu juga terlibat dalam festival dagang besar di musim haji yang disebut Ukaz dan Dzul Majas (agustianto, 2007) selanjutnya di musim-musim lain nabi Muhammad SAW lebih sibuk mengurus perdagangan grosir di pasar-pasar kota makkah/
b. Setelah Kerasulan
Setelah nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul, kegiatan berdagang sedikit berkurang. Hal ini dikarenakan beliau sibuk menyiarkan agama islam yang hingga saat ini menjadi agama yang rahmatan lil’alamn. Sebagai seorang Rasul, nabi Muhammad SAW tertantang dengan kondisi dan situasi negeri arab yang semakin hari semakin melenceng dari jalan-Nya. Dengan demikian beliau lebih mengutamakan berdakwa dan berdakwa (anto, 2003: 269) namun dengan kesibukan dakwa, nabi Muhammad SAW tidak sedikitpun berkurang perhatiannya terhadap aktifitas bisnis khususnya perdagangan.
B. Periode Madinah
Periode madinah ini dimulai dari hijranhnya nabi Muhammad SAW berserta pengikutnya ke negeri yastrib (madinah). Pada masa itu Rasulullah SAW ddan para sahabatnya kaum muhajirin berhijrah ke madinah munawarah pada tahun 622 M. setelah dilakuakan kesepakatan dan perjanjian dengan orang-orang Anshor (al-aus dan al-kharaj) untuk melindungan dan membela agamanya madinah menjadi benteng dan pusat pertahanan islam yang tangguh serta obor yang memancarkan sinarnya ke berbagai upuk dan dari sana islam tersebar luas kesegenap penjuru dunia.
Di Madinah, nabi Muhammad SAW diangkat menjadi kepala Negara sekaligus pemimpin agama oleh masyarakat madinah (Muhammad, 2007: 11) sebagai kepala Negara tentunya beliau membuat berbagai kebijakan kepada masyarakatnya. Diantra kebijakan tersebut adalah; mambangu mesjid, membuat undang-undang, manyatukan kaum muhajirin dan anshor, manjalin kedamaian dalam Negara, menyusun system pertahanan Negara, dan mendirikan baitul mal (Muhammad, 2007: 11)
Mengenai aktifitas sebagi pebisnis atau lebih dikenal dengan sebutan pedagang, di madinah ini nabi Muhammad SAW lebih dikenal sebagai seorang pengawas pasar yang aktif hingga akhir hayatnya (Antonio, 2003: 268) menjai pengawas pasar dilakukan oleh nabi Muhammad SAW seiring kesibikannya menjadi kepala Negara sekaligus kepala agama. Jadi, karena kedua hal itulah beliau lebih memilih sebagai pengawas pasar. Sebagai pengawas pasar, tugas nabi Muhammad SAW adalah mengawasi jalannya mekanisme pasar di madinah dan sekitarnya agar tetap dapat belangsung secara islami (anto, 2003: 269)
Selanjutnya mengenai kebijakan ekonomi, nabi Muhammad SAW sangat melarang segala hal yang menimbulkan riba. Sebab riba banyak merugikan puhak pembeli dari pada penjua. Selain itu juga mnegenai kekayaan, nabi Muhammad SAW menekankan bahwa kekayaan tidak boleh ditimbun, karena jika ditimbun perputaran harta akan terhenti (Muhammad, 2007: 12)
Ketika menjabat sebagi kepala Negara, Baitul mal adalah salah satu program dari nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu penggunaan baitul mal sebagi perbendaharaan Negara sangat diutamakan. Di baitul mal tersebut aktifitas pemasukan dan pengeluaran Negara berlangsung. Beberapa bentuk pemasukan Negara pada waktu itu adalah kharaj (pajak atas tanah), zakat, khums (pajak proporsional), jizyah, (pajak jaminan bagi non muslim) dan penerimaan lain seperti kafarat dan harta waris (Muhammad, 2007: 13) selanjutnya mengenai pengeluaran, diantara dana Negara digunakan untuk penyebaran agama islam, pertahanan dan keamanan, pembangunan infrasruktur, pengmbangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, serta menyediakan fasilitas bagi kesejahteraan social (Muhammad, 2007: 14)
Dari kegiatan ekonomi khususnya perdagangan yang berlangsung di madinah, transaksi penjualan lebih sedikit jumlahnya dari transaksi pembelian (afzalurrahman, 1997: 12), hal tersebut terbukti bahwa sepanjang hidupnya nabi Muhammad SAW banyak melakukan peminjaman. Meskipun begitu beliau tetap menjadi AS-sidiq dan al-‘amin karena ketika beliau meminjam sesuatu kepada orang lain, beliau selalu mabayar lebih banyak (afzalurrahman, 1997: 15)
Selanjutnya meskipun secara pribadi nabi Muhammad SAW lebih banyak berhutang bahkan menggadaikan barangnya (baju besi), tidak demikian jika dilihat dari pesfektif kepala Negara. Sebagi kepala Negara, agar perekonmian madina semakin berkembang, nabi Muhammad SAW mengeluarkan dua kebijakan dalam ekonomi yaitu kebijakan moneter dan kebijakan fiscal (Muhammad, 2007: 15) kebijakan moneter dikeluarkan nabi Muhammad SAW adalah menetapkan mata uang yang sah dan memfungsikan uang sebagai alat transaksi kemudian untuk jaga-jaga, sedangkan kebijakan fiskalnya (Muhammad, 2007: 15) adalah meningktakan pendapatan nasional dan tingkat partisipasi kerja, kebijakan pajak, membuat anggaran seperti APBN, dan kebijakan fiscal khusus (meminta bantuan kepada muslim kaya secara suka rela)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan yang diuraikan diatas, dapat diambil kesimpulan sebagi berikut
  1. Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang ulet dalam menjalankan usaha dagangnya
  2. Kehebatan dagang nabi Muhammad SAW terbukti dari kehebatannya dalam perdagangan antar negeri yang kahirnya memperoleh keuntungan yang besar.
  3. Ketika di makkah, kegiatan ekonomi (berdagang) lebih banyak sebelum nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul. Sedangkan di madinah nabi Muhammad SAW selain menjalankan aktifitas dagang, beliau juga berprofesi sebagi kepala Negara dan kepala agama.
  4. Kegiatan ekonomi nabi Muhammad SAW di madinah lebih menjurus sebagai pengawas pasar yang selalu aktif dalam mengawasi keabsahan mekanisme pasar
  5. Nabi Muhammad SAW sangat melarang adanya riba dalam transaksi
  6. Kebijakan Ekonomi

Selasa, 22 November 2011

EPISTEMOLOGO: Pengantar Memasuki Ontologi

EPISTEMOLOGI




 "Pandangan dunia (weltanschauung) seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya konsepsi dan pengenalannya terhadap "kebenaran" (asy-Syai fil khârij).  Kebenaran yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang berkorespondensi dengan dunia luar. Semakin besar pengenalannya,  semakin luas dan dalam pandangan dunianya. Pandangan dunia yang valid dan argumentatif dapat melesakkan seseorang mencapai titik-kulminasi peradaban dan sebaliknya akan membuatnya terpuruk hingga titik-nadir peradaban. Karena nilai dan kualitas keberadaan kita sangat bergantung kepada pengenalan kita terhadap kebenaran.  Anda dikenal atas apa yang Anda kenal. Wujud anda ekuivalen dengan pengenalan Anda dan vice-versa. Akan tetapi, bagaimanakah kebenaran itu dapat dikenal?   Parameter atau paradigma apa yang digunakan untuk dapat mengidentifikasi kebenaran itu? Mengapa kita memerlukan paradigma atau parameter  ini? Dapatkah manusia mencerap kebenaran itu? Bla..bla..bla..? Kalau kita menilik perjalanan sejarah umat manusia,  sebagai makhluk dinamis dan progressive, manusia acapkali dihadapkan kepada persoalan-persoalan krusial tentang hidup dan kehidupan, tentang ada dan keberadaan,  tentang perkara-perkara eksistensial. Penulusuran,  penyusuran serta jelajah manusia untuk menuai jawaban atas masalah-masalah di atas membuat eksistensi manusia jauh lebih berarti.  Manusia berusaha bertungkus lumus memaknai keberadaannya untuk mencari jawaban ini.  Till death do us apart, manusia terus mencari dan mencari hingga akhir hayatnya."
"Tuhanku,  para arif berkata kenalkan diriMu kepadaku, dan jahil ini berkata kenalkan diriku kepadaku."

Introduksi
Pandangan dunia (weltanschauung) seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya konsepsi dan pengenalannya terhadap "kebenaran" (asy-Syai fil khârij).  Kebenaran yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang berkorespondensi dengan dunia luar. Semakin besar pengenalannya,  semakin luas dan dalam pandangan dunianya. Pandangan dunia yang valid dan argumentatif dapat melesakkan seseorang mencapai titik-kulminasi peradaban dan sebaliknya akan membuatnya terpuruk hingga titik-nadir peradaban. Karena nilai dan kualitas keberadaan kita sangat bergantung kepada pengenalan kita terhadap kebenaran.  Anda dikenal atas apa yang Anda kenal. Wujud anda ekuivalen dengan pengenalan Anda dan vice-versa.
Akan tetapi, bagaimanakah kebenaran itu dapat dikenal?   Parameter atau paradigma apa yang digunakan untuk dapat mengidentifikasi kebenaran itu? Mengapa kita memerlukan paradigma atau parameter  ini? Dapatkah manusia mencerap kebenaran itu? Bla..bla..bla..?
Kalau kita menilik perjalanan sejarah umat manusia,  sebagai makhluk dinamis dan progressive, manusia acapkali dihadapkan kepada persoalan-persoalan krusial tentang hidup dan kehidupan, tentang ada dan keberadaan,  tentang perkara-perkara eksistensial. Penulusuran,  penyusuran serta jelajah manusia untuk menuai jawaban atas masalah-masalah di atas membuat eksistensi manusia jauh lebih berarti.  Manusia berusaha bertungkus lumus memaknai keberadaannya untuk mencari jawaban ini.  Till death do us apart, manusia terus mencari dan mencari hingga akhir hayatnya.
Ilmu-ilmu empiris dan ilmu-ilmu naratif lainnya ternyata tidak mampu memberikan jawaban utuh dan komprehensif atas masalah ini.[1] Karena uslub atau metodologi ilmu-ilmu di atas adalah bercorak empirikal.  Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan hadir untuk mencoba memberikan jawaban atas masalah ini. Karena baik dari sisi metodologi atau pun subjek keilmuan, filsafat menggunakan metodologi rasional dan subjek ilmu filsafat adalah eksisten qua eksisten.[2]  Betapa pun, sebelum memasuki gerbang filsafat terlebih dahulu instrument yang digunakan dalam berfilsafat harus disepakati.  Dengan kata lain,  akal yang digunakan sebagai instrument berfilsafat harus diuji dulu validitasnya, apakah ia absah atau tidak dalam menguak realitas. Betapa tidak, dalam menguak realitas terdapat perdebatan panjang semenjak zaman Yunani Kuno (lampau) hingga masa Postmodern (kiwari)  antara kubu rasionalis (rasio) dan empiris (indriawi dan persepsi). Semenjak Plato hingga Michel Foucault dan Jean-François Lyotard. Dengan demikian, pembahasan epistemologi sebagai subordinate dari filsafat menjadi mesti adanya. Yakni, sebelum kita merangsek memasuki kosmos filsafat – yang nota-bene menggunakan akal (an-sich) – kita harus membahas instrument dan metodologi apa yang valid untuk menyingkap tirai realitas ini.  Dan ini adalah raison d'être pembahasan epistemologi. Atau sederhananya, pembahasan epistemology adalah pengantar menuju pembahasan filsafat. Tentu saja, harus kita ingat bahwa ilmu logika juga harus rampung untuk menyepakati bahwa dunia luar terdapat hakikat dan untuk mengenalnya adalah mungkin.[3] Walhasil,  pembahasan epistemology sebagai ilmu yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat harus dikedepankan sebelum membahas perkara-perkara filsafat.

Apa itu Epistemologi
Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan. Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme, pengetahuan; dan logos, theory. Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan. Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara 'alim (subjek) dan ma'lum (objek). Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan “kebenaran” macam apa yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak.
Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, dari manakah saya berasal? Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia? Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya.
Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa:
1.         Hakikat itu ada dan nyata;
2.         Kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu;
3.         Hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami;
4.        Manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu. Akal dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya, dan jalan menuju ilmu dan pengetahuan tidak tertutup bagi manusia.  
Apabila manusia melontarkan suatu pertanyaan yang baru, misalnya bagaimana kita bisa memahami dan meyakini bahwa hakikat itu benar-benar ada? Mungkin hakikat itu memang tiada dan semuanya hanyalah bersumber dari khayalan kita belaka? Kalau pun hakikat itu ada, lantas bagaimana kita bisa meyakini bahwa apa yang kita ketahui tentang hakikat itu bersesuaian dengan hakikat eksternal itu sebagaimana adanya? Apakah kita yakin bisa menggapai hakikat dan realitas eksternal itu? Sangat mungkin pikiran kita tidak memiliki kemampuan memadai untuk mencapai hakikat sebagaimana adanya, keraguan ini akan menguat khususnya apabila kita mengamati kesalahan-kesalahan yang terjadi pada indra lahir dan kontradiksi-kontradiksi yang ada di antara para pemikir di sepanjang sejarah manusia?
Persoalan-persoalan terakhir ini berbeda dengan persoalan-persoalan sebelumnya, yakni persoalan-persoalan sebelumnya berpijak pada suatu asumsi bahwa hakikat itu ada, akan tetapi pada persoalan-persoalan terakhir ini, keberadaan hakikat itu justru masih menjadi masalah yang diperdebatkan. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini. Seseorang sedang melihat suatu pemandangan yang jauh dengan teropong dan melihat berbagai benda dengan bentuk-bentuk dan warna-warna yang berbeda, lantas iameneliti benda-benda tersebut dengan melontarkan berbagai pertanyaan-pertanyaan tentangnya. Dengan perantara teropong itu sendiri, ia berupaya menjawab dan menjelaskan tentang realitas benda-benda yang dilihatnya. Namun, apabila seseorang bertanya kepadanya: Dari mana Anda yakin bahwa teropong ini memiliki ketepatan dalam menampilkan warna, bentuk, dan ukuran benda-benda tersebut? Mungkin benda-benda yang ditampakkan oleh teropong itu memiliki ukuran besar atau kecil?. Keraguan-keraguan ini akan semakin kuat dengan adanya kemungkinan kesalahan penampakan oleh teropong. Pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan dengan keabsahan dan kebenaran yang dihasilkan oleh teropong. Dengan ungkapan lain, tidak ditanyakan tentang keberadaan realitas eksternal, akan tetapi, yang dipersoalkan adalah keabsahan teropong itu sendiri sebagai alat yang digunakan untuk melihat benda-benda yang jauh.
Keraguan-keraguan tentang hakikat pikiran, persepsi-persepsi pikiran, nilai dan keabsahan pikiran, kualitas pencerapan pikiran terhdap objek dan realitas eksternal, tolok ukur kebenaran hasil pikiran, dan sejauh mana kemampuan akal-pikiran dan indra mencapai hakikat dan mencerap objek eksternal, masih merupakan persoalan-persoalan aktual dan kekinian bagi manusia. Terkadang kita mempersoalkan ilmu dan makrifat tentang benda-benda hakiki dan kenyataan eksternal, dan terkadang kita membahas tentang ilmu dan makrifat yang diperoleh oleh akal-pikiran dan indra. Semua persoalan ini dibahas dalam bidang ilmu epistemologi.
Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia.

 Pokok Bahasan Epistemologi
Dengan memperhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan. Dalam hal ini, dua poin penting akan dijelaskan:
1. Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam pengertian khusus seperti ilmu hushûlî. Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu. Istilah-istilah ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
a.      Makna leksikal ilmu adalah sama dengan pengideraan secara umum dan mencakup segala hal yang hakiki, sains, teknologi, keterampilan, kemahiran, dan juga meliputi ilmu-ilmu seperti hudhûrî, hushûlî, ilmu Tuhan, ilmu para malaikat, dan ilmu manusia.
b.      Ilmu adalah kehadiran (hudhûrî) dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini digunakan dalam filsafat Islam. Makna ini mencakup ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî.
c.       Ilmu yang hanya dimaknakan sebagai ilmu hushûlî dimana berhubungan dengan ilmu logika (mantik).
d.      Ilmu adalah pembenaran (at-tashdiq) dan hukum yang meliputi kebenaran yang diyakini dan belum diyakini.
e.      Ilmu adalah pembenaran yang diyakini.
f.        Ilmu ialah kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan kenyataan dan realitas eksternal.
g.      Ilmu adalah keyakinan benar yang bisa dibuktikan.
h.      Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang saling bersesuaian dimana tidak berhubungan dengan masalah-masalah sejarah dan geografi.
i.         Ilmu ialah gabungan proposisi-proposisi universal yang hakiki dimana tidak termasuk hal-hal yang linguistik.
j.        Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang bersifat empirik.
2.      Sudut pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat, maka dari sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi, logika, dan psikologi. Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu. Terkadang yang menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu pembahasan dibidang ontologi dan filsafat. Sisi pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan realitas eksternal juga menjadi pokok kajian epistemologi. Sementara aspek penyingkapan ilmu baru dengan perantaraan ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab hadirnya pengindraan adalah dibahas dalam ilmu logika. Dan ilmu psikologi mengkaji subyek ilmu dari aspek pengaruh umur manusia terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang pembahasan akan sangat berpengaruh dalam pemahaman mendalam tentang perbedaan-perbedaan ilmu.
Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dan dari sisi ini, ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî juga akan menjadi pokok-pokok pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.

 Masalah-masalah Filosofis: Masa  Yunani dan Masa Medieval
Pada abad ke-13, seorang filosof dan teolog Itali yang bernama Santo Thomas Aquinas berupaya mensintesakan keyakinan Nasrani dengan ilmu pengetahuan dalam cakupan yang lebih luas, dengan memanfaatkan sumber-sumber beragam seperti karya-karya filosof Aristoteles, cendekiawan Muslim dan Yahudi. Pemikiran Santo Thomas Aquinas pada masa-masa kiwari sangat mempengaruhi irama dinamika teologi Nasrani dan kosmos filsafat Barat.
Pada abad ke-5 SM, Sophist Yunani menanyakan kemungkinan reliabilitas dan objektivitas ilmu. Oleh karena itu, seorang Sophist prominen, Gorgias, berpendapat bahwa tidak ada yang benar-benar wujud, karena jika sesuatu ada tidak dapat diketahui, dan jika ilmu bersifat nisbi, tidak dapat dikomunikasikan. Seorang Sophist ternama lainnya, Protagoras, berpandangan bahwa tidak ada satu pendapat pun yang dapat dikatakan lebih benar dari yang lain, karena setiap pendapat adalah hanyalah sebuah penilaian yang berakar dari pengalaman yang dilaluinya. Plato, mengikuti ustadznya Socrates, mencoba untuk menjawab isykalan-isyakalan para Sophist dengan mempostulasikan keberadaan semesta yang bersifat tetap dan bentuk-bentuknya yang invisible, atau ide-ide, yang melaluinya ilmu pasti dan eksak dapat diraih. Mereka percaya bahwa benda-benda yang dilihat dan diraba adalah kopian-kopian yang tidak sempurna dari bentuk-bentuk yang sempurna yang dikaji dalam ilmu matematika dan filsafat. Dengan demikian, hanya penalaran abstrak dari disiplin ilmu ini yang dapat menuai ilmu pengetahuan original, sementara mengandalkan indra-persepsi menghasilkan pendapat-pendapat yang inkonsisten dan mubham.  Mereka menyimpulkan bahwa kontemplasi filosofis tentang bentuk-bentuk dunia gaib merupakan tujuan tertinggi kehidupan manusia.
Aristoteles mengikuti Plato ihwal ilmu abstrak adalah ilmu yang lebih superior atas ilmu-ilmu yang lainnya, namun tidak setuju dengan metode dalam mencapainya. Aristotels berpendapat bahwa hampir seluruh ilmu berasal dari pengalaman. Ilmu diraih baik secara langsung, dengan mengabstraksikan ciri-ciri khusus dari setiap spesies, atau tidak langsung, dengan mendeduksi kenyataan-kenyataan baru dari apa yang telah diketahui, berdasarkan aturan-aturan logika. Observasi yang teliti dan ketat dalam mengaplikasikan aturan-aturan logika, yang pertama kalinya disusun secara sistematis oleh Aristoteles, akan membantu menjaga dari perangkap-perangkap yang dipasang oleh para Sophist. Maktab Epicurian dan Stoic sepakat dengan pandangan Aristoteles bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari indra-persepsi, akan tetapi menentang keduanya baik Aristoteles atau pun Plato yang berpandangan bahwa filsafat harus dinilai sebagai sebuah bimbingan praktis untuk menjalani hidup, mereka berpendapat sebaliknya bahwa filsafat adalah akhir dari kehidupan.
Setelah beberapa kurun berlalu kurangnya ketertarikan dalam ilmu rasional dan saintifik, filosof Skolastik Santo Thomas Aquinas dan beberapa filosof abad pertengahan berusaha membantu untuk mengembalikan konfidensi terhadap rasio dan pengalaman, mencampur metode-metode rasional dengan iman dalam sebuah system keyakinan integral. Aquinas mengikuti Aristoteles dalam masalah tentang persepsi sebagai starting-point dan logika sebagai prosedur intelektual untuk sampai kepada ilmu yang dapat diandalkan (reliable) tentang tabiat, akan tetapi memandang iman dalam otoritas skriptual sebagai nara sumber keyakinan agama.

 Masa Plato dan Aristoteles
Plato dapat dikatakan sebagai filosof pertama yang secara jelas mengemukakan epistemologi dalam filsafat, meskipun ia belum menggunakan secara resmi istilah epistemology ini. Filosof Yunani berikutnya yang berbicara tentang epistemologi adalah Aristoteles. Ia murid Plato dan pernah tinggal bersama Plato selama kira-kira 20 tahun di Akademia.
Pembahasan tentang epistemologi Plato dan Aristoteles akan lebih jelas dan ringkas kalau dilakukan dengan cara membandingkan keduanya, sebagaimana tertuang pada table di bawah ini.
                       Table komparasi epistemology Plato dan Aristoteles


 
Topik Pemikiran
Plato
Aristoteles
Pandangan tentang dunia
Ada 2 dunia:  dunia ide & dunia sekarang (semu)
Hanya 1 dunia: Dunia nyata yang sedang dijalani
Kenyataan yang sejati
Ide-ide yang berasal dari dunia ide
Segala sesuatu yang di alam yang dapat ditangkap indra
Pandangan tentang manusia
Terdiri dari badan dan jiwa. Jiwa abadi; badan fana (tidak abadi).
Jiwa terpenjara badan.
Badan dan jiwa sebagai satu kesatuan tak terpisahkan.
Asal pengetahuan
Dunia ide. Namun tertanam dalam jiwa yang ada dalam diri manusia.
Kehidupan sehari-hari dan alam dunia nyata
Cara mendapatkan pengetahuan
Mengeluarkan dari dalam diri (Anamnesis) dengan metoda bidan
Observasi dan abstraksi, diolah dengan logika












 Perbedaan epistemologi Plato dan Aristoteles ini memiliki pengaruh besar terhadap para filosof modern. Idealisme Plato mempengaruhi filosof-filosof Rasionalis seperti Spinoza, Leibniz, dan Whitehead. Sedangkan pandangan Aristoteles tentang asal dan cara memperoleh pengetahuan mempengaruhi filsu-filosof Empiris seperti Locke, Hume, dan Berkeley.

Rasio Vs Indra Persepsi
Antara abad 17 hingga akhir abad ke-19, masalah utama yang muncul dalam pembahasan epistemologi adalah resistensi antara kubu rasionalis vis-à-vis  kubu empiris (indriawi-persepsi). Filosof Francis, René Descartes (1596-1650), filosof Belanda, Baruch Spinoza (1632-1677), dan filosof Jerman, Wilhelm Leibniz (1646-1716) adalah para pemimpin kubu rasionalis. Mereka berpandangan bahwa sumber utama dan pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah  logika deduktif  (baca: qiyas) yang bersandarkan kepada prinsip-prinsip swabukti (badihi) atau axioma-axioma.  Sementara orang-orang seperti,  Francis Bacon ( 1561-1626) and John Locke (1632-1704) keduanya adalah filosof Inggris berkeyakinan bahwa sumber utama dan pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah bersandar kepada pengalaman,  persepsi dan indriawi.
Filosof Francis René Descartes secara rigoris menggunakan metode deduksi dalam jelajah filsafatnya. Barangkali Descartes ini dikenal baik atas karya pionirnya untuk bersikap skeptis dalam berfilsafat. Dialah yang pertama kali memperkenalkan metode sangsi dalam investigasi terhadap ilmu pengetahuan.
Descartes yang kerap disebut sebagai Bapak Filsafat Modern (sekaligus filsafatnya kemudian dikenal sebagai Cartesians) ini dalam mengusung metode rasionalnya, dia menggunakan metode sangsi dalam menyikapi pelbagai fenomena atau untuk mencerap ilmu pengetahuan. Postulat,  Cogito Ergo Sum adalah milik Descartes. Rumusan postulat ini yang menemaninya untuk menyingkap ilmu pengetahuan. Menurut Descartes segala sesuatu yang berada di dunia luar harus disangsikan dan diragukan.
Pandangan Descartes tentang manusia sering disebut sebagai dualistis. Ia melihat manusia sebagai dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Tubuh tidak lain adalah suatu mesin yang dijalankan jiwa. Hal ini dipengaruhi oleh epistemologinya yang memandang rasio sebagai hal yang paling utama pada manusia.
Empirisme pertama kali diperkenalkan oleh filosof dan negarawan Inggris Francis Bacon pada awal-awal abad ke-17, akan tetapi John Locke yang kemudian mendesignnya secara sistemik yang dituangkan dalam bukunya "Essay Concerning Human Understanding (1690). John Locke memandang bahwa nalar seseorang pada waktu lahirnya adalah ibarat sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis kosong tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun. Lingkungan dan pengalamanlah yang menjadikannya berisi. Pengalaman indrawi menjadi sumber pengetahuan bagi manusia dan cara mendapatkannya tentu saja lewat observasi serta pemanfaatan seluruh indra manusia. John Locke adalah orang yang tidak percaya terhadap konsepsi intuisi dan batin. Filosof empirisme lainnya adalah Hume. Ia memandang manusia sebagai sekumpulan persepsi (“a bundle or collection of perceptions”). Manusia hanya mampu menangkap kesan-kesan saja lalu menyimpulkan kesan-kesan itu seolah-olah berhubungan. Pada kenyataannya, menurut Hume, manusia tidak mampu menangkap suatu substansi. Apa yang dianggap substansi oleh manusia hanyalah kepercayaan saja. Begitu pula dalam menangkap hubungan sebab-akibat. Manusia cenderung menganggap dua kejadian sebagai sebab dan akibat hanya karena menyangka kejadian-kejadian itu ada kaitannya, padahal kenyataannya tidak demikian. Selain itu, Hume menolak ide bahwa manusia memiliki kedirian (self). Apa yang dianggap sebagai diri oleh manusia merupakan kumpulan persepsi saja.[bersambung]

Sumber Rujukan
-                      Âmuzesy-e Falsafeh, Ustadz Ayatullah Misbah Yazdi
-                      Ma'rifat Syinâsi dar Qur'ân, Ustadz Ayatullah Agâ Jawadi Amuli
-                      Berbagai referensi dari internet.


[1] . Silahkan rujuk Âmuzesy-e Falsafeh, Ustadz Ayatullah Agâ Misbâh Yazdi, jilid 1, hal. 91, Syarkat-e Câp-e wa Nasyr-e Bainal Milal Sazemân-e Tablighati Islâmi, Qum.
[2] . Idem.,
[3] . Ma'rifat Syinâsi dar Qur'ân, Ustadz Ayatullah Agâ Jawâdi Âmuli, hal. 22, Markaz-e Nasyr Isra', Qum.