"Pandangan
dunia (weltanschauung)
seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya
konsepsi dan pengenalannya terhadap "kebenaran"
(asy-Syai
fil khârij).
Kebenaran yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang
berkorespondensi dengan dunia luar. Semakin besar pengenalannya,
semakin luas dan dalam pandangan dunianya. Pandangan dunia yang
valid dan argumentatif dapat melesakkan seseorang mencapai
titik-kulminasi peradaban dan sebaliknya akan membuatnya terpuruk
hingga titik-nadir peradaban. Karena nilai dan kualitas keberadaan
kita sangat bergantung kepada pengenalan kita terhadap kebenaran.
Anda dikenal atas apa yang Anda kenal. Wujud anda ekuivalen dengan
pengenalan Anda dan vice-versa.
Akan tetapi, bagaimanakah kebenaran itu dapat dikenal? Parameter
atau paradigma apa yang digunakan untuk dapat mengidentifikasi
kebenaran itu? Mengapa kita memerlukan paradigma atau parameter
ini? Dapatkah manusia mencerap kebenaran itu? Bla..bla..bla..?
Kalau kita menilik perjalanan sejarah umat manusia, sebagai
makhluk dinamis dan progressive, manusia acapkali dihadapkan
kepada persoalan-persoalan krusial tentang hidup dan kehidupan,
tentang ada dan keberadaan, tentang perkara-perkara
eksistensial. Penulusuran, penyusuran serta jelajah manusia
untuk menuai jawaban atas masalah-masalah di atas membuat
eksistensi manusia jauh lebih berarti. Manusia berusaha
bertungkus lumus memaknai keberadaannya untuk mencari jawaban ini.
Till
death do us apart,
manusia terus mencari dan mencari hingga akhir hayatnya."
"Tuhanku,
para arif berkata kenalkan diriMu kepadaku, dan jahil ini berkata
kenalkan diriku kepadaku."
Introduksi
Pandangan
dunia (weltanschauung)
seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya
konsepsi dan pengenalannya terhadap "kebenaran"
(asy-Syai
fil khârij).
Kebenaran yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang
berkorespondensi dengan dunia luar. Semakin besar pengenalannya,
semakin luas dan dalam pandangan dunianya. Pandangan dunia yang
valid dan argumentatif dapat melesakkan seseorang mencapai
titik-kulminasi peradaban dan sebaliknya akan membuatnya terpuruk
hingga titik-nadir peradaban. Karena nilai dan kualitas keberadaan
kita sangat bergantung kepada pengenalan kita terhadap kebenaran.
Anda dikenal atas apa yang Anda kenal. Wujud anda ekuivalen dengan
pengenalan Anda dan vice-versa.
Akan
tetapi, bagaimanakah kebenaran itu dapat dikenal? Parameter
atau paradigma apa yang digunakan untuk dapat mengidentifikasi
kebenaran itu? Mengapa kita memerlukan paradigma atau parameter
ini? Dapatkah manusia mencerap kebenaran itu? Bla..bla..bla..?
Kalau
kita menilik perjalanan sejarah umat manusia, sebagai
makhluk dinamis dan progressive, manusia acapkali dihadapkan
kepada persoalan-persoalan krusial tentang hidup dan kehidupan,
tentang ada dan keberadaan, tentang perkara-perkara
eksistensial. Penulusuran, penyusuran serta jelajah manusia
untuk menuai jawaban atas masalah-masalah di atas membuat
eksistensi manusia jauh lebih berarti. Manusia berusaha
bertungkus lumus memaknai keberadaannya untuk mencari jawaban ini.
Till
death do us apart,
manusia terus mencari dan mencari hingga akhir hayatnya.
Ilmu-ilmu empiris dan
ilmu-ilmu naratif lainnya ternyata tidak mampu memberikan jawaban
utuh dan komprehensif atas masalah ini.[1]
Karena uslub
atau metodologi ilmu-ilmu di atas adalah bercorak empirikal.
Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan hadir untuk mencoba
memberikan jawaban atas masalah ini. Karena baik dari sisi
metodologi atau pun subjek keilmuan, filsafat menggunakan
metodologi rasional dan subjek ilmu filsafat adalah eksisten qua
eksisten.[2]
Betapa pun, sebelum memasuki gerbang filsafat terlebih dahulu
instrument yang digunakan dalam berfilsafat harus disepakati.
Dengan kata lain, akal yang digunakan sebagai instrument
berfilsafat harus diuji dulu validitasnya, apakah ia absah atau
tidak dalam menguak realitas. Betapa tidak, dalam menguak realitas
terdapat perdebatan panjang semenjak zaman Yunani Kuno (lampau)
hingga masa Postmodern (kiwari) antara kubu rasionalis
(rasio) dan empiris (indriawi dan persepsi). Semenjak Plato hingga
Michel Foucault dan Jean-François Lyotard. Dengan demikian,
pembahasan epistemologi sebagai subordinate dari filsafat menjadi
mesti adanya. Yakni, sebelum kita merangsek memasuki kosmos
filsafat – yang nota-bene menggunakan akal (an-sich)
– kita harus membahas instrument dan metodologi apa yang valid
untuk menyingkap tirai realitas ini. Dan ini adalah raison
d'être
pembahasan epistemologi. Atau sederhananya, pembahasan
epistemology adalah pengantar menuju pembahasan filsafat. Tentu
saja, harus kita ingat bahwa ilmu logika juga harus rampung untuk
menyepakati bahwa dunia luar terdapat hakikat dan untuk
mengenalnya adalah mungkin.[3]
Walhasil, pembahasan epistemology sebagai ilmu yang meneliti
asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh
pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model
filsafat harus dikedepankan sebelum membahas perkara-perkara
filsafat.
Apa
itu Epistemologi
Epistemologi
derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu
pengetahuan. Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme,
pengetahuan; dan logos,
theory. Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai
masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan.
Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu,
ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak
antara 'alim
(subjek) dan ma'lum
(objek). Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian
filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan
bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam
menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini
epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan
menentukan “kebenaran” macam apa yang dianggap patut diterima
dan apa yang patut ditolak.
Manusia
dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan
kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan
pertanyaan-pertanyaan seperti, dari manakah saya berasal?
Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia?
Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor
kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil?
Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih?
Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan
pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah manusia dan rasa
ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi
atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan
dihadapinya.
Pada
dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya
mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat
memahami dan menyadari bahwa:
1.
Hakikat
itu ada dan nyata;
2.
Kita
bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu;
3.
Hakikat
itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami;
4. Manusia
bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu.
Akal dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang
dihadapinya, dan jalan menuju ilmu dan pengetahuan tidak tertutup
bagi manusia.
Apabila
manusia melontarkan suatu pertanyaan yang baru, misalnya bagaimana
kita bisa memahami dan meyakini bahwa hakikat itu benar-benar ada?
Mungkin hakikat itu memang tiada dan semuanya hanyalah bersumber
dari khayalan kita belaka? Kalau pun hakikat itu ada, lantas
bagaimana kita bisa meyakini bahwa apa yang kita ketahui tentang
hakikat itu bersesuaian dengan hakikat eksternal itu sebagaimana
adanya? Apakah kita yakin bisa menggapai hakikat dan realitas
eksternal itu? Sangat mungkin pikiran kita tidak memiliki
kemampuan memadai untuk mencapai hakikat sebagaimana adanya,
keraguan ini akan menguat khususnya apabila kita mengamati
kesalahan-kesalahan yang terjadi pada indra lahir dan
kontradiksi-kontradiksi yang ada di antara para pemikir di
sepanjang sejarah manusia?
Persoalan-persoalan
terakhir ini berbeda dengan persoalan-persoalan sebelumnya, yakni
persoalan-persoalan sebelumnya berpijak pada suatu asumsi bahwa
hakikat itu ada, akan tetapi pada persoalan-persoalan terakhir
ini, keberadaan hakikat itu justru masih menjadi masalah yang
diperdebatkan. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini.
Seseorang sedang melihat suatu pemandangan yang jauh dengan
teropong dan melihat berbagai benda dengan bentuk-bentuk dan
warna-warna yang berbeda, lantas iameneliti benda-benda tersebut
dengan melontarkan berbagai pertanyaan-pertanyaan tentangnya.
Dengan perantara teropong itu sendiri, ia berupaya menjawab dan
menjelaskan tentang realitas benda-benda yang dilihatnya. Namun,
apabila seseorang bertanya kepadanya: Dari mana Anda yakin bahwa
teropong ini memiliki ketepatan dalam menampilkan warna, bentuk,
dan ukuran benda-benda tersebut? Mungkin benda-benda yang
ditampakkan oleh teropong itu memiliki ukuran besar atau kecil?.
Keraguan-keraguan ini akan semakin kuat dengan adanya kemungkinan
kesalahan penampakan oleh teropong. Pertanyaan-pertanyaan ini
berkaitan dengan keabsahan dan kebenaran yang dihasilkan oleh
teropong. Dengan ungkapan lain, tidak ditanyakan tentang
keberadaan realitas eksternal, akan tetapi, yang dipersoalkan
adalah keabsahan teropong itu sendiri sebagai alat yang digunakan
untuk melihat benda-benda yang jauh.
Keraguan-keraguan
tentang hakikat pikiran, persepsi-persepsi pikiran, nilai dan
keabsahan pikiran, kualitas pencerapan pikiran terhdap objek dan
realitas eksternal, tolok ukur kebenaran hasil pikiran, dan sejauh
mana kemampuan akal-pikiran dan indra mencapai hakikat dan
mencerap objek eksternal, masih merupakan persoalan-persoalan
aktual dan kekinian bagi manusia. Terkadang kita mempersoalkan
ilmu dan makrifat tentang benda-benda hakiki dan kenyataan
eksternal, dan terkadang kita membahas tentang ilmu dan makrifat
yang diperoleh oleh akal-pikiran dan indra. Semua persoalan ini
dibahas dalam bidang ilmu epistemologi.
Dengan
demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat
yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi,
alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu,
makrifat, dan pengetahuan manusia.
Pokok
Bahasan Epistemologi
Dengan
memperhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan
pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan
pengetahuan. Dalam hal ini, dua poin penting akan dijelaskan:
1. Cakupan
pokok bahasan, yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara
umum atau ilmu dalam pengertian khusus seperti ilmu hushûlî.
Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah
menunjukkan batasan dari ilmu itu. Istilah-istilah ilmu tersebut
adalah sebagai berikut:
a.
Makna leksikal ilmu adalah sama dengan pengideraan secara umum dan
mencakup segala hal yang hakiki, sains, teknologi, keterampilan,
kemahiran, dan juga meliputi ilmu-ilmu seperti hudhûrî,
hushûlî,
ilmu Tuhan, ilmu para malaikat, dan ilmu manusia.
b.
Ilmu adalah kehadiran (hudhûrî)
dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini digunakan dalam
filsafat Islam. Makna ini mencakup ilmu hushûlî
dan
ilmu hudhûrî.
c.
Ilmu yang hanya dimaknakan sebagai ilmu hushûlî
dimana berhubungan dengan ilmu logika (mantik).
d.
Ilmu adalah pembenaran (at-tashdiq)
dan hukum yang meliputi kebenaran yang diyakini dan belum
diyakini.
e.
Ilmu adalah pembenaran yang diyakini.
f.
Ilmu ialah kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan
kenyataan dan realitas eksternal.
g.
Ilmu adalah keyakinan benar yang bisa dibuktikan.
h.
Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang saling
bersesuaian dimana tidak berhubungan dengan masalah-masalah
sejarah dan geografi.
i.
Ilmu ialah gabungan proposisi-proposisi universal yang hakiki
dimana tidak termasuk hal-hal yang linguistik.
j.
Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang bersifat
empirik.
2.
Sudut pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu
dan makrifat, maka dari sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu
dan makrifat juga dikaji dalam ontologi, logika, dan psikologi.
Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu.
Terkadang yang menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat
keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu pembahasan dibidang
ontologi dan filsafat. Sisi pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan
realitas eksternal juga menjadi pokok kajian epistemologi.
Sementara aspek penyingkapan ilmu baru dengan perantaraan
ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab
hadirnya pengindraan adalah dibahas dalam ilmu logika. Dan ilmu
psikologi mengkaji subyek ilmu dari aspek pengaruh umur manusia
terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang
pembahasan akan sangat berpengaruh dalam pemahaman mendalam
tentang perbedaan-perbedaan ilmu.
Dalam
epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan,
pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dan
dari sisi ini, ilmu hushûlî
dan ilmu hudhûrî
juga akan menjadi pokok-pokok pembahasannya. Dengan demikian, ilmu
yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan pengindraan
adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.
Masalah-masalah
Filosofis: Masa Yunani dan Masa Medieval
Pada
abad ke-13, seorang filosof dan teolog Itali yang bernama Santo
Thomas Aquinas berupaya mensintesakan keyakinan Nasrani dengan
ilmu pengetahuan dalam cakupan yang lebih luas, dengan
memanfaatkan sumber-sumber beragam seperti karya-karya filosof
Aristoteles, cendekiawan Muslim dan Yahudi. Pemikiran Santo Thomas
Aquinas pada masa-masa kiwari sangat mempengaruhi irama dinamika
teologi Nasrani dan kosmos filsafat Barat.
Pada
abad ke-5 SM, Sophist Yunani menanyakan kemungkinan reliabilitas
dan objektivitas ilmu. Oleh karena itu, seorang Sophist prominen,
Gorgias, berpendapat bahwa tidak ada yang benar-benar wujud,
karena jika sesuatu ada tidak dapat diketahui, dan jika ilmu
bersifat nisbi, tidak dapat dikomunikasikan. Seorang Sophist
ternama lainnya, Protagoras, berpandangan bahwa tidak ada satu
pendapat pun yang dapat dikatakan lebih benar dari yang lain,
karena setiap pendapat adalah hanyalah sebuah penilaian yang
berakar dari pengalaman yang dilaluinya. Plato, mengikuti
ustadznya Socrates, mencoba untuk menjawab isykalan-isyakalan para
Sophist dengan mempostulasikan keberadaan semesta yang bersifat
tetap dan bentuk-bentuknya yang invisible, atau ide-ide, yang
melaluinya ilmu pasti dan eksak dapat diraih. Mereka percaya bahwa
benda-benda yang dilihat dan diraba adalah kopian-kopian yang
tidak sempurna dari bentuk-bentuk yang sempurna yang dikaji dalam
ilmu matematika dan filsafat. Dengan demikian, hanya penalaran
abstrak dari disiplin ilmu ini yang dapat menuai ilmu pengetahuan
original, sementara mengandalkan indra-persepsi menghasilkan
pendapat-pendapat yang inkonsisten dan mubham.
Mereka menyimpulkan bahwa kontemplasi filosofis tentang
bentuk-bentuk dunia gaib merupakan tujuan tertinggi kehidupan
manusia.
Aristoteles
mengikuti Plato ihwal ilmu abstrak adalah ilmu yang lebih superior
atas ilmu-ilmu yang lainnya, namun tidak setuju dengan metode
dalam mencapainya. Aristotels berpendapat bahwa hampir seluruh
ilmu berasal dari pengalaman. Ilmu diraih baik secara langsung,
dengan mengabstraksikan ciri-ciri khusus dari setiap spesies, atau
tidak langsung, dengan mendeduksi kenyataan-kenyataan baru dari
apa yang telah diketahui, berdasarkan aturan-aturan logika.
Observasi yang teliti dan ketat dalam mengaplikasikan
aturan-aturan logika, yang pertama kalinya disusun secara
sistematis oleh Aristoteles, akan membantu menjaga dari
perangkap-perangkap yang dipasang oleh para Sophist. Maktab
Epicurian dan Stoic sepakat dengan pandangan Aristoteles bahwa
ilmu pengetahuan bersumber dari indra-persepsi, akan tetapi
menentang keduanya baik Aristoteles atau pun Plato yang
berpandangan bahwa filsafat harus dinilai sebagai sebuah bimbingan
praktis untuk menjalani hidup, mereka berpendapat sebaliknya bahwa
filsafat adalah akhir dari kehidupan.
Setelah
beberapa kurun berlalu kurangnya ketertarikan dalam ilmu rasional
dan saintifik, filosof Skolastik Santo Thomas Aquinas dan beberapa
filosof abad pertengahan berusaha membantu untuk mengembalikan
konfidensi terhadap rasio dan pengalaman, mencampur metode-metode
rasional dengan iman dalam sebuah system keyakinan integral.
Aquinas mengikuti Aristoteles dalam masalah tentang persepsi
sebagai starting-point
dan logika sebagai prosedur intelektual untuk sampai kepada ilmu
yang dapat diandalkan (reliable)
tentang tabiat, akan tetapi memandang iman dalam otoritas
skriptual sebagai nara sumber keyakinan agama.
Masa
Plato dan Aristoteles
Plato
dapat dikatakan sebagai filosof pertama yang secara jelas
mengemukakan epistemologi dalam filsafat, meskipun ia belum
menggunakan secara resmi istilah epistemology ini. Filosof Yunani
berikutnya yang berbicara tentang epistemologi adalah Aristoteles.
Ia murid Plato dan pernah tinggal bersama Plato selama kira-kira
20 tahun di Akademia.
Pembahasan
tentang epistemologi Plato dan Aristoteles akan lebih jelas dan
ringkas kalau dilakukan dengan cara membandingkan keduanya,
sebagaimana tertuang pada table di bawah ini.
Table komparasi
epistemology Plato dan Aristoteles
Topik
Pemikiran
|
Plato
|
Aristoteles
|
Pandangan
tentang dunia
|
Ada
2 dunia: dunia ide & dunia sekarang (semu)
|
Hanya
1 dunia: Dunia nyata yang sedang dijalani
|
Kenyataan
yang sejati
|
Ide-ide
yang berasal dari dunia ide
|
Segala
sesuatu yang di alam yang dapat ditangkap indra
|
Pandangan
tentang manusia
|
Terdiri
dari badan dan jiwa. Jiwa abadi; badan fana (tidak abadi).
Jiwa
terpenjara badan.
|
Badan
dan jiwa sebagai satu kesatuan tak terpisahkan.
|
Asal
pengetahuan
|
Dunia
ide. Namun tertanam dalam jiwa yang ada dalam diri manusia.
|
Kehidupan
sehari-hari dan alam dunia nyata
|
Cara
mendapatkan pengetahuan
|
Mengeluarkan
dari dalam diri (Anamnesis) dengan metoda bidan
|
Observasi
dan abstraksi, diolah dengan logika
|
Perbedaan
epistemologi Plato dan Aristoteles ini memiliki pengaruh besar
terhadap para filosof modern. Idealisme Plato mempengaruhi
filosof-filosof Rasionalis seperti Spinoza, Leibniz, dan
Whitehead. Sedangkan pandangan Aristoteles tentang asal dan cara
memperoleh pengetahuan mempengaruhi filsu-filosof Empiris seperti
Locke, Hume, dan Berkeley.
Rasio
Vs Indra Persepsi
Antara
abad 17 hingga akhir abad ke-19, masalah utama yang muncul dalam
pembahasan epistemologi adalah resistensi antara kubu rasionalis
vis-à-vis
kubu empiris (indriawi-persepsi). Filosof Francis, René Descartes
(1596-1650), filosof Belanda, Baruch Spinoza (1632-1677), dan
filosof Jerman, Wilhelm Leibniz (1646-1716) adalah para pemimpin
kubu rasionalis. Mereka berpandangan bahwa sumber utama dan
pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah logika deduktif
(baca: qiyas)
yang bersandarkan kepada prinsip-prinsip swabukti (badihi)
atau axioma-axioma. Sementara orang-orang seperti,
Francis Bacon ( 1561-1626) and John Locke (1632-1704) keduanya
adalah filosof Inggris berkeyakinan bahwa sumber utama dan
pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah bersandar kepada
pengalaman, persepsi dan indriawi.
Filosof
Francis René Descartes secara rigoris menggunakan metode deduksi
dalam jelajah filsafatnya. Barangkali Descartes ini dikenal baik
atas karya pionirnya untuk bersikap skeptis dalam berfilsafat.
Dialah yang pertama kali memperkenalkan metode sangsi dalam
investigasi terhadap ilmu pengetahuan.
Descartes
yang kerap disebut sebagai Bapak Filsafat Modern (sekaligus
filsafatnya kemudian dikenal sebagai Cartesians) ini dalam
mengusung metode rasionalnya, dia menggunakan metode sangsi dalam
menyikapi pelbagai fenomena atau untuk mencerap ilmu pengetahuan.
Postulat, Cogito
Ergo Sum
adalah milik Descartes. Rumusan postulat ini yang menemaninya
untuk menyingkap ilmu pengetahuan. Menurut Descartes segala
sesuatu yang berada di dunia luar harus disangsikan dan diragukan.
Pandangan
Descartes tentang manusia sering disebut sebagai dualistis. Ia
melihat manusia sebagai dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah
pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Tubuh tidak lain adalah suatu
mesin yang dijalankan jiwa. Hal ini dipengaruhi oleh
epistemologinya yang memandang rasio sebagai hal yang paling utama
pada manusia.
Empirisme
pertama kali diperkenalkan oleh filosof dan negarawan Inggris
Francis Bacon pada awal-awal abad ke-17, akan tetapi John Locke
yang kemudian mendesignnya secara sistemik yang dituangkan dalam
bukunya "Essay
Concerning Human Understanding (1690).
John Locke memandang bahwa nalar seseorang pada waktu lahirnya
adalah ibarat sebuah tabula
rasa,
sebuah batu tulis kosong tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun.
Lingkungan dan pengalamanlah yang menjadikannya berisi. Pengalaman
indrawi menjadi sumber pengetahuan bagi manusia dan cara
mendapatkannya tentu saja lewat observasi serta pemanfaatan
seluruh indra manusia. John Locke adalah orang yang tidak percaya
terhadap konsepsi intuisi dan batin. Filosof empirisme lainnya
adalah Hume. Ia memandang manusia sebagai sekumpulan persepsi (“a
bundle or collection of perceptions”).
Manusia hanya mampu menangkap kesan-kesan saja lalu menyimpulkan
kesan-kesan itu seolah-olah berhubungan. Pada kenyataannya,
menurut Hume, manusia tidak mampu menangkap suatu substansi. Apa
yang dianggap substansi oleh manusia hanyalah kepercayaan saja.
Begitu pula dalam menangkap hubungan sebab-akibat. Manusia
cenderung menganggap dua kejadian sebagai sebab dan akibat hanya
karena menyangka kejadian-kejadian itu ada kaitannya, padahal
kenyataannya tidak demikian. Selain itu, Hume menolak ide bahwa
manusia memiliki kedirian (self).
Apa yang dianggap sebagai diri oleh manusia merupakan kumpulan
persepsi saja.[bersambung]
Sumber
Rujukan
-
Âmuzesy-e
Falsafeh,
Ustadz Ayatullah Misbah Yazdi
-
Ma'rifat
Syinâsi dar Qur'ân,
Ustadz Ayatullah Agâ Jawadi Amuli
-
Berbagai
referensi dari internet.
[1]
. Silahkan rujuk Âmuzesy-e
Falsafeh,
Ustadz Ayatullah Agâ Misbâh
Yazdi, jilid 1, hal. 91, Syarkat-e Câp-e wa Nasyr-e Bainal Milal
Sazemân-e Tablighati Islâmi, Qum.
[3]
. Ma'rifat
Syinâsi dar Qur'ân,
Ustadz Ayatullah Agâ Jawâdi Âmuli, hal. 22, Markaz-e Nasyr
Isra', Qum.
|