Minggu, 20 November 2011

Makalah Ijitihad


BAB I
PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG
Seiring dengan perubahan-perubahan sosial yang dihadapi oleh umat islam serta dengan bertumbuh kembangnya pola peradaban kemasyarakatan dimana yang telah menimbulkan berbagai permasalahan baru yang berkaitan dengan hukum Islam. Sehingga dengan munculnya berbagai permasalahan baru tersebutsengatlah mungkin belum adanya ketetapan-ketetapan hukum untuk menjawab akan segala hal itu.
Perhatian para ulama’akan permasalahanyang berhubungan dengan keagamaan telah dilakukan sepanjang sejarah Islam. Metode Istimbath Hukum merupakan bukti riil dari ulama’ dalam penyelesaianpermasalahan baru tersebut. Salah satu dari Metode Istimbath Hukum Islam yaitu Ijtihad dalam penggalian Hukum. Ijtihad sendiri sebagai upaya para ulama’ dalam Penginterpretasi terhadap Nash Al Qur’an dan As Sunnah, yang akhirnya menghasilkan produk-produk hukum Islam. Maka dari itu karena dipandang perlunya Ijtihad dalam menjawab tantangan kemasyarakatan maka kami akan memaparkan tentang Ijtihad.



  1. RUMUSAN MASALAH
  1. Apakah pengertian dari Ijtihad?
  2. Bagaimanakah dasar hukum Ijtihad?
  3. Apa saja syarat-syarat Mujtahid?
  4. Apakah Hukum melakukan Ijtihad?
  5. Apakah macam-macam Ijtihad?
BAB I
PEMBAHASAN

  1. PENGERTIAN IJTIHAD
Secara lughowi, Istilah Ijtihad diambil dari kata جَّهَدَ yang memiliki arti “mengerahkan kemampuan”1. Sebagaimana dalam Firman Allah SWT dalam Surat At Taubah Ayat 79;

                     
Artinya: (orang-orang munafik itu) Yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih.
Secara isthilahi, Ijtihad didefinisikan sebagai pengerahan kemampuan oleh seorang faqih untuk memperoleh dugaan kuat tentang hukum Syar’i dengan jalan Istimbath dan penuh kesadaran diri bahwa tidak dapat berbuat banyak selain usaha yang telah dilakukan itu2. Sedangkan Ijtihad menurut Ulama’ Ushul, yaitu Mengerahakan daya untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil Syara’ yang terperinci3.
Yang menjadi Objek ijtihad ialah setiap peristiwa hukum, baik yang sudah ada ketentuan nash nya yang bersifat zhanni maupun belum ada nash nya sama sekali. Bagi peristiwa-peristiwa yang sudah ada ketentuan nash nya ijtihad dilakukan dengan jalan memahami nashdan meneliti apakah suatu nash bersifat khusus atau bersifat umum. Kalau bersifat umum, apakah dibatasi keumuman nya atau tidak.Untuk peristiwa-peristiwa yang tidak ada ketentuannya nashnya, objek ijtihad ialah meneliti hukumnya dengan memakai qiyas, atau istihsan, atau pemakaian urf atau dalil-dalil hukum lainnya.
Dari pengertian tentang Ijtihad sebagaimana disebutkan diatas, maka ijtihad mengandung dua factor:
  1. Ijtihad yang khusus untuk menetapkan suatu hokum dan penjelasannya. Pengertia ini adalah pengertian ijtuhad yang sempurna, dan dikhususkan bagi ulama’ yang bermaksud untuk mengetahui ketentuan hukum-hukum furu’ amaliyah dengan menggunakan dalil secara terperinci.
  2. Ijtihad khusus untuk menerapkan dan mengamalkan hukum. Seluruh Ulama’ sepakat bahwa sepanjang masa tidak akan terjadi kekosongan dari para Mujtahid dalam kategori ini4.

  1. DASAR HUKUM IJTIHAD
Banyak alasan yang menunjukan kebolehan melakukan Ijtihad. Diantara nya Allah sudah berfirman dalam Surat An Nisa’ Ayat 59:

                              
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan, kepada Al Qur’an dan Sunnah menurut Ali Hasbullah, Adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul Nya dengan jalan Ijtihad dalam membahas kandungan Ayat atau Hadits yang barangkali tidak mudah untuk dijangkau begitu saja kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah, seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya dengan sesuatu yang disebutkan dalam Al Qur’an karena ‘illat nya seperti dalan praktek qiyas (analogi), atau dengan meneliti kebijaksanaan-kebijaksanaan Syari’at. Melakukan Ijtihad yangseperti inilah yang dimaksud mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud oleh Ayat itu5.
Juga dalam Surat Al Baqarah Ayat 149:
                   
Artinya: Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil haram, Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
Dari ayat tersebut dapat di pahami bahwa orang yang berada jauh dari Masjidil Haram, apabila akan melakukan sholat dapat mencari dan menentukan arah itu melalui ijtihad dengan mencurahkan akal pikirannya berdasarkan indikasi atau tanda-tanda yang ada6.
Selain itu adanya keterangan dari As Sunnah, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Umar :
اِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فاجَّتَهَدَ فَاَصَابَ فَلَهُ اَجْرَافِ وَاِذَا حَكَمَ فَاجَّتَهَدَ ثُمَّ أَخَّطَاءَ فَلَهُ أَجْرٌ
Artinya: “Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila salah maka ia mendapat satu pahala


  1. SYARAT-SYARAT MUJTAHID
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa seorang mujtahid dalah seseorang yang memiliki kesungguhan dan kesanggupan yang sangat. Namun perlu diketahui aspek kesungguhan atau kesanggupan yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid. Walaupun terdapat perbedaan pendapat di kalangan Ulama’, namun syarat-syarat seseorang dapat dikatakan sebagai seorang Mujtahid dan dapat melakukan Ijtihad adalah:
  1. Syarat yang berhubungan dengan aspek kepribadiannya, yang terdiri dari:
  1. Seseorang telah Baligh (cukup umur) dan berakal
  2. Seseorang yang memiliki keimanan yang kuat, baik kepada Allah dan RasulNya dan memiliki sifat Adil.
  1. Syarat yang berhubungan dengan kemampuannya, yang terdiri dari:
  1. Memiliki pengetahuan tentang ilmu alat untuk memahami bahasa Arab, karena sumber hukum Syar’i dalam Al Qur’an dan Sunnah menggunakan bahasa arab.
  2. Memiliki penetahuan tentang Al Qur’an
  3. Memiliki pengetahuan tentang Hadits Nabi SAW
  4. Memiliki pengetahuan tentang ijma’ para sahabat da ulama’
  5. Memiliki Pengetahuan tentang qiyas dan metode Ijtihad linnya
  6. Memiliki pengetahuan tentang maksud Syar’I dalam menetapkan hukum
  7. Memiliki pengetahuan tentang ilmu ushul fiqh
  8. Memiliki pengetahuan tentang ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang terkait dengan masalah hukum yang dihadapinya7.

  1. HUKUM BERIJTIHAD
Yang dimaksud dari berijtihad disini adalah hukum dari orang yang melakukan Ijtihad, baik dari tujuan Hukum taklif, maupun hukum wadh’i. Karena yang berwewenang melakukan ijtihad itu adalah orang yang telah mencapai tingkat faqih, maka Mahkum Alaihnya (objek atau orang yang dikenal oleh hukum) disini adalah orang yang faqih.
Secara umum, hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seseorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’ sendiri tidak menetapkannya secara jelas dan pasti. Adapun dalil tentang kewajiban untuk berijtihad itu dapat dipahami dari firman Allah SWT dalam Al Qur’an Surat Al Hasyr Ayat 2:

   
Artinya: Maka ambil I’tibarlah untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
Dalan ayat ini Allah menyuruh orang-orang yang mempunyai Pandangan(faqih) untuk mengambil I’tibar atau pertimbangan dalam berpikir. Perintah untuk mengambil I’tibar ini sesudah Allah menjelaskan malapetaka yang menimpa Ahli Kitab (Yahudi) disebabkan oleh tingkah mereka yang tidak baik. Seorang faqih akan dapat mengambil kesimpulan dari ibarat Allah tersebut bahwa kaum manapun akan mengalami akibat yang sama bila mereka berlaku seperti kaum Yahudi yang dijelaskan dalam ayat ini. Cara mengambil i’tibar ini merupakan salah satu bentuk dari Ijtihad. Karena dalam ayat ini Allah menyuruh mengambil I’tibar berarti Allah juga menyuruh berijtihad, sedangkan suruhan Allah itu pada dasarnya itu adalah untuk wajib8.

  1. MACAM –MACAM IJTIHAD
Di dalam literature Ushul Fiqh, ditemukan banyak sekali pembahasan tantang pembagian Ijtihad, yang dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk sesuai dengan sudut pandang yang digunakan. Namun secara garis besar Ijtihad dibagi dalam dua bagian, yaitu ijtihad fardi dan ijtihad jami’i.
  1. Ijtihad fardi ialah Setiap ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan atau beberapa orang yang tak ada keteranagn bahwa mujtahid lain menyetujuinya dalam suatu perkara. Ijtihad semacam ini lah yang dibenarkan oleh Rasulullah kepada Mu’adz ketika Rasulullah mengutusnya untuk menjadi qath’i di Yaman. Sesuai dengan pula ijtihad yang pernah dilakukan Umar bin Khatab kepada Abu Musa Al-Asyari dan Syuraikh.

  1. Ijtihad jami’i ialah suatu ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati oleh semua mujtahidin. Ijtihad semacam ini yang dimaksud oleh Hadits Ali ketika menannyakan kepada Rasulullah tentang urusan yang tidak ditemukan hukumnya dalam Al Qur;an dan As Sunnah9.
Apabila dilihat dari segi luasnya cakupan hukum yang diIjtihadi, maka Ijtihad dapat dibedakan menjadi:
  1. Ijtihad mutlaq: ijtihad meliputi seluruh masalah hukum.
  2. Ijtihad juz’i: ijtihad yang hanya meliputi sebagian masalah hukum tertentu.
Apabila dilihat dari segi bentuk karya yang dihasilkan, maka ijtihad dapat dibedakan menjadi:
  1. Ijtihad istimbathi, yaitu kegiatan ijtuhad yang berusaha menggali dan menemukan hukum dari dalil-dalilnya yang telah ditentukan.
  2. Ijtihad tathbiqi, yaitu kegiatan ijtihad yang bukan menggali dan menemukan hukum, tetapi menerapkan hukum hasil penemuan mujtahid terdahulu pada masalah hukum yang muncul kemudian.
Apabila dilihat dari segi hasil yang dicapai dan kualitas orang yang melakukannya, maka ijtihad dapat dibedakan menjadi:
  1. Ijtihad mu’tabar, yaitu Ijtihad yang dipandang sebagai penemuan hokum atau ijtihad ileh orang yang memiliki kemampuan untuk berijtihad sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
  2. Ijtihad ghoiru mu’tabar, yaitu ijtihad yang dipandang bukan penemuan hukum atau ijtihad yang dilakukan oleh irang yang tidak memiliki kemampuan untuk berijtihad sesuai dengan syarat-syarat yang telah di tentukan10.





BAB III
KESIMPULAN

  1. Secara lughowi, Istilah Ijtihad diambil dari kata جَّهَدَ yang memiliki arti “mengerahkan kemampuan.
Secara isthilahi, Ijtihad didefinisikan sebagai pengerahan kemampuan oleh seorang faqih untuk memperoleh dugaan kuat tentang hukum Syar’i dengan jalan Istimbath dan penuh kesadaran diri bahwa tidak dapat berbuat banyak selain usaha yang telah dilakukan itu.
  1. Dasar hukum Ijtihad Diantara nya Allah sudah berfirman dalam Surat An Nisa’ Ayat 59:

                              
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
syarat-syarat seseorang dapat dikatakan sebagai seorang Mujtahid dan dapat melakukan Ijtihad adalah:
  1. Syarat yang berhubungan dengan aspek kepribadiannya, yang terdiri dari:
  1. Seseorang telah Baligh (cukup umur) dan berakal
  2. Seseorang yang memiliki keimanan yang kuat, baik kepada Allah dan RasulNya dan memiliki sifat Adil.
Syarat yang berhubungan dengan kemampuannya, yang terdiri dari:
  1. Memiliki pengetahuan tentang ilmu alat untuk memahami bahasa Arab, karena sumber hukum Syar’i dalam Al Qur’an dan Sunnah menggunakan bahasa arab.
  2. Memiliki penetahuan tentang Al Qur’an
  3. Memiliki pengetahuan tentang Hadits Nabi SAW
  4. Memiliki pengetahuan tentang ijma’ para sahabat da ulama
  5. Memiliki Pengetahuan tentang qiyas dan metode Ijtihad lainnya
  6. Memiliki pengetahuan tentang maksud Syar’I dalam menetapkan hokum
  7. Memiliki pengetahuan tentang ilmu ushul fiqh
  8. Memiliki pengetahuan tentang ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang terkait dengan masalah hukum yang dihadapinya
  1. Secara umum, hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seseorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’ sendiri tidak menetapkannya secara jelas dan pasti. Adapun dalil tentang kewajiban untuk berijtihad itu dapat dipahami dari firman Allah SWT dalam Al Qur’an Surat Al Hasyr Ayat 2:

   
Artinya: Maka ambil I’tibarlah untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
  1. Secara garis besar Ijtihad dibagi dalam dua bagian, yaitu ijtihad fardi dan ijtihad jami’i.
  1. Ijtihad fardi ialah Setiap ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan atau beberapa orang yang tak ada keteranagn bahwa mujtahid lain menyetujuinya dalam suatu perkara. Ijtihad semacam ini lah yang dibenarkan oleh Rasulullah kepada Mu’adz ketika Rasulullah mengutusnya untuk menjadi qath’i di Yaman. Sesuai dengan pula ijtihad yang pernah dilakukan Umar bin Khatab kepada Abu Musa Al-Asyari dan Syuraikh.
  2. Ijtihad jami’i ialah suatu ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati oleh semua mujtahidin. Ijtihad semacam ini yang dimaksud oleh Hadits Ali ketika menannyakan kepada Rasulullah tentang urusan yang tidak ditemukan hukumnya dalam Al Qur;an dan As Sunnah.
























DAFTAR PUSTAKA

Hanani,Nurul,Ijtihad&taklid perspektif KH. HASYIM ASY’ARI,Kediri:STAIN PRESS,2009
Huda,Moh. Shifiyul, Ushul Fiqih,Kediri:STAIN PRESS,2009
Soebani,Beni Ahmad, Ilmu Ushul Fiqh,Bandung:CV Pustaka Setia,2009
Zahrah,Muhammad Abu,Ushul Fiqih,Jakarta:Pustaka Firdaus,2000
Efendi,Satria,Ushul Fiqh,Jakarta:Kencana,2008
Umam,Khairul,Ushul Fiqih II,Bndung:CV Pustaka Setia,1989
Syarufuddin,Amir,Ushul Fiqh jilid 2,Jakarta:Logos Wacana Ilmu,1999
Burhanuddin, Fiqih Ibadah,Bndung:CV Pustaka Setia,2001

















IJTIHAD

Makalah ini dibuat untuk memenuhi pada salah satu mata kuliah
USHUL FIQIH II

Dosen Pengampu :
IMAM ANAS MUSLIHIN M.HI











Oleh :
KHAMIM TOHARI 9313 090 10


JURUSAN SYARI’AH PRODI EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2011

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A.Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
BAB II PEMBAHASAN 2
A.Pengertian Ijtihad 2
B. Dasar Hukum Ijtihad 3
C. Syarat-syarat Ijtihad 5
D. Hukum Melakukan Ijtihad 6
E. Macam-macam Ijtihad 7
BAB III PENUTUP 9
Kesimpulan 9
DAFTAR PUSTAKA 12

1 Dra. Nurul Hanani,MHI,Ijtihad&taklid perspektif KH. HASYIM ASY’ARI(Kediri:STAIN PRESS,2009),12
2 Moh. Shifiyul Huda MF, Ushul Fiqih(Kediri:STAIN PRESS,2009),164
3 Drs. Beni Ahmad Soebani,MSI, Ilmu Ushul Fiqh(Bandung:CV Pustaka Setia,2009),180
4 Prof. Muhammad Abu Zahrah,Ushul Fiqih(Jakarta:Pustaka Firdaus,2000),567
5 Prof. Dr H Satria Efendi,Ushul Fiqh(Jakarta:Kencana,2008),247
6 Drs Khairul Umam,Ushul Fiqih II(Bndung:CV Pustaka Setia,1989),132
7 Moh. Shofiyul Huda MF Op. Cit,165
8 Prof Dr H Amir Syarufuddin,Ushul Fiqh jilid 2,(Jakarta:Logos Wacana Ilmu,1999),226
9 Drs H Burhanuddin Mag, Fiqih Ibadah(Bndung:CV Pustaka Setia,2001),135
10 Moh, Shofiyul Huda MF,Op. Cit,166

Tidak ada komentar:

Posting Komentar