BAB I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Seiring
dengan perubahan-perubahan sosial yang dihadapi oleh umat islam serta
dengan bertumbuh kembangnya
pola peradaban kemasyarakatan dimana yang telah menimbulkan berbagai
permasalahan baru yang berkaitan dengan hukum Islam. Sehingga dengan
munculnya berbagai permasalahan baru tersebutsengatlah mungkin belum
adanya ketetapan-ketetapan hukum untuk menjawab akan segala hal itu.
Perhatian
para ulama’akan permasalahanyang berhubungan dengan keagamaan
telah dilakukan sepanjang sejarah Islam. Metode Istimbath Hukum
merupakan bukti riil dari ulama’ dalam penyelesaianpermasalahan
baru tersebut. Salah satu dari Metode Istimbath Hukum Islam yaitu
Ijtihad dalam penggalian Hukum. Ijtihad sendiri sebagai upaya para
ulama’ dalam Penginterpretasi terhadap Nash Al Qur’an dan As
Sunnah, yang akhirnya menghasilkan produk-produk hukum Islam. Maka
dari itu karena dipandang perlunya Ijtihad dalam menjawab tantangan
kemasyarakatan maka kami akan memaparkan tentang Ijtihad.
- RUMUSAN MASALAH
- Apakah pengertian dari Ijtihad?
- Bagaimanakah dasar hukum Ijtihad?
- Apa saja syarat-syarat Mujtahid?
- Apakah Hukum melakukan Ijtihad?
- Apakah macam-macam Ijtihad?
BAB I
PEMBAHASAN
- PENGERTIAN IJTIHAD
Secara
lughowi,
Istilah Ijtihad diambil dari kata جَّهَدَ
yang
memiliki arti “mengerahkan
kemampuan”1.
Sebagaimana dalam Firman Allah SWT dalam Surat At Taubah Ayat 79;
Artinya:
(orang-orang munafik itu) Yaitu orang-orang yang mencela orang-orang
mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang
yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar
kesanggupannya, Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah
akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang
pedih.
Secara
isthilahi,
Ijtihad didefinisikan sebagai pengerahan kemampuan oleh seorang faqih
untuk memperoleh dugaan kuat tentang hukum Syar’i dengan jalan
Istimbath dan penuh kesadaran diri bahwa tidak dapat berbuat banyak
selain usaha yang telah dilakukan itu2.
Sedangkan Ijtihad menurut Ulama’ Ushul, yaitu Mengerahakan daya
untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil Syara’ yang
terperinci3.
Yang
menjadi Objek ijtihad ialah setiap peristiwa hukum,
baik yang sudah ada ketentuan nash nya yang bersifat zhanni maupun
belum ada nash nya sama sekali. Bagi peristiwa-peristiwa yang sudah
ada ketentuan nash nya ijtihad dilakukan dengan jalan memahami
nashdan meneliti apakah suatu nash bersifat khusus atau bersifat
umum. Kalau bersifat umum, apakah dibatasi keumuman nya atau
tidak.Untuk peristiwa-peristiwa yang tidak ada ketentuannya nashnya,
objek ijtihad ialah meneliti hukumnya dengan memakai qiyas, atau
istihsan, atau pemakaian urf atau dalil-dalil hukum lainnya.
Dari pengertian
tentang Ijtihad sebagaimana disebutkan diatas, maka ijtihad
mengandung dua factor:
- Ijtihad yang khusus untuk menetapkan suatu hokum dan penjelasannya. Pengertia ini adalah pengertian ijtuhad yang sempurna, dan dikhususkan bagi ulama’ yang bermaksud untuk mengetahui ketentuan hukum-hukum furu’ amaliyah dengan menggunakan dalil secara terperinci.
- Ijtihad khusus untuk menerapkan dan mengamalkan hukum. Seluruh Ulama’ sepakat bahwa sepanjang masa tidak akan terjadi kekosongan dari para Mujtahid dalam kategori ini4.
- DASAR HUKUM IJTIHAD
Banyak
alasan yang menunjukan kebolehan melakukan Ijtihad. Diantara nya
Allah sudah berfirman dalam Surat An Nisa’ Ayat 59:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.
Perintah
mengembalikan sesuatu yang diperbedakan, kepada Al Qur’an dan
Sunnah menurut Ali Hasbullah, Adalah peringatan agar orang tidak
mengikuti hawa nafsunya dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan
Rasul Nya dengan jalan Ijtihad dalam membahas kandungan Ayat atau
Hadits yang barangkali tidak mudah untuk dijangkau begitu saja
kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al Qur’an dan Sunnah
Rasulullah, seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan
hukumnya dengan sesuatu yang disebutkan dalam Al Qur’an karena
‘illat nya seperti dalan praktek qiyas (analogi), atau dengan
meneliti kebijaksanaan-kebijaksanaan Syari’at. Melakukan Ijtihad
yangseperti inilah yang dimaksud mengembalikan sesuatu kepada Allah
dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud oleh Ayat itu5.
Juga dalam Surat Al
Baqarah Ayat 149:
Artinya:
Dan
dari mana saja kamu keluar (datang), Maka Palingkanlah wajahmu ke
arah Masjidil haram, Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu
yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa
yang kamu kerjakan.
Dari
ayat tersebut dapat di pahami bahwa orang yang berada jauh dari
Masjidil Haram, apabila akan melakukan sholat dapat mencari dan
menentukan arah itu melalui ijtihad dengan mencurahkan akal
pikirannya berdasarkan indikasi atau tanda-tanda yang ada6.
Selain itu
adanya keterangan dari As Sunnah, diantaranya hadits yang
diriwayatkan oleh Umar :
اِذَا
حَكَمَ
الْحَاكِمُ
فاجَّتَهَدَ
فَاَصَابَ
فَلَهُ
اَجْرَافِ
وَاِذَا
حَكَمَ
فَاجَّتَهَدَ
ثُمَّ
أَخَّطَاءَ
فَلَهُ
أَجْرٌ
Artinya:
“Jika
seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua,
dan bila salah maka ia mendapat satu pahala”
- SYARAT-SYARAT MUJTAHID
Sebagaimana
dijelaskan di atas, bahwa seorang mujtahid dalah seseorang yang
memiliki kesungguhan dan kesanggupan yang sangat. Namun perlu
diketahui aspek kesungguhan atau kesanggupan yang harus dimiliki oleh
seorang mujtahid. Walaupun terdapat perbedaan pendapat di kalangan
Ulama’, namun syarat-syarat seseorang dapat dikatakan sebagai
seorang Mujtahid dan dapat melakukan Ijtihad adalah:
- Syarat yang berhubungan dengan aspek kepribadiannya, yang terdiri dari:
- Seseorang telah Baligh (cukup umur) dan berakal
- Seseorang yang memiliki keimanan yang kuat, baik kepada Allah dan RasulNya dan memiliki sifat Adil.
- Syarat yang berhubungan dengan kemampuannya, yang terdiri dari:
- Memiliki pengetahuan tentang ilmu alat untuk memahami bahasa Arab, karena sumber hukum Syar’i dalam Al Qur’an dan Sunnah menggunakan bahasa arab.
- Memiliki penetahuan tentang Al Qur’an
- Memiliki pengetahuan tentang Hadits Nabi SAW
- Memiliki pengetahuan tentang ijma’ para sahabat da ulama’
- Memiliki Pengetahuan tentang qiyas dan metode Ijtihad linnya
- Memiliki pengetahuan tentang maksud Syar’I dalam menetapkan hukum
- Memiliki pengetahuan tentang ilmu ushul fiqh
- Memiliki pengetahuan tentang ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang terkait dengan masalah hukum yang dihadapinya7.
- HUKUM BERIJTIHAD
Yang
dimaksud dari berijtihad disini adalah hukum
dari orang yang melakukan Ijtihad, baik dari tujuan Hukum taklif,
maupun hukum wadh’i.
Karena
yang berwewenang melakukan ijtihad itu adalah orang yang telah
mencapai tingkat
faqih,
maka Mahkum
Alaihnya
(objek atau orang yang dikenal oleh hukum) disini adalah orang yang
faqih.
Secara
umum, hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seseorang mujtahid
wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’
dalam hal-hal yang syara’ sendiri tidak menetapkannya secara jelas
dan pasti.
Adapun dalil tentang kewajiban untuk berijtihad itu dapat dipahami
dari firman Allah SWT dalam Al Qur’an Surat Al Hasyr Ayat 2:
Artinya:
Maka ambil I’tibarlah untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang
mempunyai wawasan.
Dalan
ayat ini Allah menyuruh orang-orang yang mempunyai Pandangan(faqih)
untuk mengambil I’tibar atau pertimbangan dalam berpikir. Perintah
untuk mengambil I’tibar ini sesudah Allah menjelaskan malapetaka
yang menimpa Ahli Kitab (Yahudi) disebabkan oleh tingkah mereka yang
tidak baik. Seorang faqih akan dapat mengambil kesimpulan dari ibarat
Allah tersebut bahwa kaum manapun akan mengalami akibat yang sama
bila mereka berlaku seperti kaum Yahudi yang dijelaskan dalam ayat
ini. Cara mengambil i’tibar ini merupakan salah satu bentuk dari
Ijtihad. Karena dalam ayat ini Allah menyuruh mengambil I’tibar
berarti Allah juga menyuruh berijtihad, sedangkan suruhan Allah itu
pada dasarnya itu adalah untuk wajib8.
- MACAM –MACAM IJTIHAD
Di
dalam literature Ushul Fiqh, ditemukan banyak sekali pembahasan
tantang pembagian Ijtihad, yang dapat dibedakan menjadi beberapa
bentuk sesuai dengan sudut pandang yang digunakan. Namun secara
garis besar Ijtihad dibagi dalam dua bagian, yaitu ijtihad
fardi dan
ijtihad
jami’i.
- Ijtihad fardi ialah Setiap ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan atau beberapa orang yang tak ada keteranagn bahwa mujtahid lain menyetujuinya dalam suatu perkara. Ijtihad semacam ini lah yang dibenarkan oleh Rasulullah kepada Mu’adz ketika Rasulullah mengutusnya untuk menjadi qath’i di Yaman. Sesuai dengan pula ijtihad yang pernah dilakukan Umar bin Khatab kepada Abu Musa Al-Asyari dan Syuraikh.
- Ijtihad jami’i ialah suatu ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati oleh semua mujtahidin. Ijtihad semacam ini yang dimaksud oleh Hadits Ali ketika menannyakan kepada Rasulullah tentang urusan yang tidak ditemukan hukumnya dalam Al Qur;an dan As Sunnah9.
Apabila dilihat dari
segi luasnya cakupan hukum yang diIjtihadi, maka Ijtihad dapat
dibedakan menjadi:
- Ijtihad mutlaq: ijtihad meliputi seluruh masalah hukum.
- Ijtihad juz’i: ijtihad yang hanya meliputi sebagian masalah hukum tertentu.
Apabila dilihat dari
segi bentuk karya yang dihasilkan, maka ijtihad dapat dibedakan
menjadi:
- Ijtihad istimbathi, yaitu kegiatan ijtuhad yang berusaha menggali dan menemukan hukum dari dalil-dalilnya yang telah ditentukan.
- Ijtihad tathbiqi, yaitu kegiatan ijtihad yang bukan menggali dan menemukan hukum, tetapi menerapkan hukum hasil penemuan mujtahid terdahulu pada masalah hukum yang muncul kemudian.
Apabila dilihat dari
segi hasil yang dicapai dan kualitas orang yang melakukannya, maka
ijtihad dapat dibedakan menjadi:
- Ijtihad mu’tabar, yaitu Ijtihad yang dipandang sebagai penemuan hokum atau ijtihad ileh orang yang memiliki kemampuan untuk berijtihad sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
- Ijtihad ghoiru mu’tabar, yaitu ijtihad yang dipandang bukan penemuan hukum atau ijtihad yang dilakukan oleh irang yang tidak memiliki kemampuan untuk berijtihad sesuai dengan syarat-syarat yang telah di tentukan10.
BAB III
KESIMPULAN
- Secara lughowi, Istilah Ijtihad diambil dari kata جَّهَدَ yang memiliki arti “mengerahkan kemampuan.
Secara
isthilahi,
Ijtihad didefinisikan sebagai pengerahan kemampuan oleh seorang faqih
untuk memperoleh dugaan kuat tentang hukum Syar’i dengan jalan
Istimbath dan penuh kesadaran diri bahwa tidak dapat berbuat banyak
selain usaha yang telah dilakukan itu.
- Dasar hukum Ijtihad Diantara nya Allah sudah berfirman dalam Surat An Nisa’ Ayat 59:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.
syarat-syarat
seseorang dapat dikatakan sebagai seorang Mujtahid dan dapat
melakukan Ijtihad adalah:
- Syarat yang berhubungan dengan aspek kepribadiannya, yang terdiri dari:
- Seseorang telah Baligh (cukup umur) dan berakal
- Seseorang yang memiliki keimanan yang kuat, baik kepada Allah dan RasulNya dan memiliki sifat Adil.
Syarat
yang berhubungan dengan kemampuannya, yang terdiri dari:
- Memiliki pengetahuan tentang ilmu alat untuk memahami bahasa Arab, karena sumber hukum Syar’i dalam Al Qur’an dan Sunnah menggunakan bahasa arab.
- Memiliki penetahuan tentang Al Qur’an
- Memiliki pengetahuan tentang Hadits Nabi SAW
- Memiliki pengetahuan tentang ijma’ para sahabat da ulama
- Memiliki Pengetahuan tentang qiyas dan metode Ijtihad lainnya
- Memiliki pengetahuan tentang maksud Syar’I dalam menetapkan hokum
- Memiliki pengetahuan tentang ilmu ushul fiqh
- Memiliki pengetahuan tentang ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang terkait dengan masalah hukum yang dihadapinya
- Secara umum, hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seseorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’ sendiri tidak menetapkannya secara jelas dan pasti. Adapun dalil tentang kewajiban untuk berijtihad itu dapat dipahami dari firman Allah SWT dalam Al Qur’an Surat Al Hasyr Ayat 2:
Artinya:
Maka ambil I’tibarlah untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang
mempunyai wawasan.
- Secara garis besar Ijtihad dibagi dalam dua bagian, yaitu ijtihad fardi dan ijtihad jami’i.
- Ijtihad fardi ialah Setiap ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan atau beberapa orang yang tak ada keteranagn bahwa mujtahid lain menyetujuinya dalam suatu perkara. Ijtihad semacam ini lah yang dibenarkan oleh Rasulullah kepada Mu’adz ketika Rasulullah mengutusnya untuk menjadi qath’i di Yaman. Sesuai dengan pula ijtihad yang pernah dilakukan Umar bin Khatab kepada Abu Musa Al-Asyari dan Syuraikh.
- Ijtihad jami’i ialah suatu ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati oleh semua mujtahidin. Ijtihad semacam ini yang dimaksud oleh Hadits Ali ketika menannyakan kepada Rasulullah tentang urusan yang tidak ditemukan hukumnya dalam Al Qur;an dan As Sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
Hanani,Nurul,Ijtihad&taklid
perspektif KH. HASYIM ASY’ARI,Kediri:STAIN
PRESS,2009
Huda,Moh.
Shifiyul,
Ushul
Fiqih,Kediri:STAIN
PRESS,2009
Soebani,Beni
Ahmad,
Ilmu Ushul Fiqh,Bandung:CV
Pustaka Setia,2009
Zahrah,Muhammad
Abu,Ushul
Fiqih,Jakarta:Pustaka
Firdaus,2000
Efendi,Satria,Ushul
Fiqh,Jakarta:Kencana,2008
Umam,Khairul,Ushul
Fiqih II,Bndung:CV
Pustaka Setia,1989
Syarufuddin,Amir,Ushul
Fiqh jilid 2,Jakarta:Logos
Wacana Ilmu,1999
Burhanuddin,
Fiqih
Ibadah,Bndung:CV
Pustaka Setia,2001
IJTIHAD
Makalah ini dibuat
untuk memenuhi pada salah satu mata kuliah
“USHUL
FIQIH II”
Dosen Pengampu :
IMAM ANAS
MUSLIHIN M.HI
Oleh :
KHAMIM
TOHARI 9313 090 10
JURUSAN SYARI’AH
PRODI EKONOMI ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2011
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL i
DAFTAR
ISI ii
BAB
I PENDAHULUAN 1
A.Latar
Belakang 1
B.
Rumusan Masalah 1
BAB
II PEMBAHASAN 2
A.Pengertian
Ijtihad 2
B.
Dasar Hukum Ijtihad 3
C.
Syarat-syarat Ijtihad 5
D.
Hukum Melakukan Ijtihad 6
E.
Macam-macam Ijtihad 7
BAB
III PENUTUP 9
Kesimpulan 9
DAFTAR
PUSTAKA 12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar